Minggu, 02 Januari 2011

Pengelolaan Multipihak Kawasan Konservasi secara Terpadu di Papua Barat

Pengelolaan Kawasan Konservasi secara Multipihak di Papua Barat

I. Pengelolaan Kawasan Konservasi Hutan/ darat (KKH)
Pengelolaan kawasan konservasi harus mengacu terhadap fungsi Konservasi Sumber Daya Alam Hutan dan Ekosistem. Di dalam UU No. 5 tahun 1990 secara jelas disebutkan bahwa kawasan konservasi dimaksudkan untuk dilakukan kegiatan konservasi yang mengatur perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari Sumber Daya Alam Hutan dan Ekosistem (SDAHE).
Pengelolaan kawasan konservasi harus dilakukan secara partisipatif mulai dari perencanaan hingga pelaksanaannya. Pengelolaan secara multipihak ini akan mengoptimalkan dan mempermudah dalam pencapaian target sesuai dengan waktu dan biaya yang telah direncanakan. Sebagai contoh dalam kegiatan patroli, BBKSDA bersama TNI, Polri, Masyarakat telah melakukan kegiatan secara bersama – sama untuk mencegah terjadinya pencurian kayu secara illegal di kawasan hutan konservasi dalam kegiatan operasi fungsional. Selain itu telah dilakukan kegiatan pemadaman kebakaran secara bersama – sama antara polhut, pam swakarsa, dan masyarakat yang terjadi di TWA Sorong pada tanggal 9 - 10 Februari 2010 yang telah menghanguskan hutan dan lahan seluas 2,3 Ha. Fenomena ini tentunya menjadi pengalaman yang sangat berharga sekaligus peringatan bagi semua stakholders yang terlibat di dalam pengelolaan kawasan konservasi agar ancaman tersebut tidak terulang kembali.
Sampai saat ini BBKSDA Papua Barat bersama pihak yang terkait masih melakukan upaya pelaksanaan tata batas kawasan. Tata batas kawasan ini merupakan syarat mutlak dalam kegiatan pengelolaan suatu kawasan. Kegiatan ini tentunya harus mendapatkan pengakuan secara legalitas oleh semua pihak, yaitu pemerintah dan masyarakat. Legalitas mengenai tata batas kawasan konservasi ini akan menghindari terjadinya konflik dalam pengelolaan kawasan kedepan. Sehingga harapan pengelolaan hutan yang lestari akan terwujud.
Dalam pengelolaan kawasan konservasi hutan telah melibatkan berbagai stakeholders yaitu :

a. LINGKUP KEHUTANAN :
- Polisi Kehutanan
- PPNS Kehutanan
- Sat. Pengamanan Hutan
- Tenaga Pengamanan Htn Lainnya.
b. LINGKUP INSTANSI TERKAIT :
- Polri dan TNI
- Bea Cukai
- Perhubungan
- Karantina
- Imigrasi
- PU
- Pengadilan/ Hakim
c. MASYARAKAT


Menurut UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekosistem (pasal 5), konservasi dapat dilakukan dengan berbagai macam tindakan (action) melalui kegiatan:
a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi tentunya tidak terlepas dari kegiatan pengamanan. Pengamanan dapat dilakukan oleh semua pihak terkait, di antaranya aparat keamanan. Dalam menjalankan tugas perlindungan petugas/ aparat dapat melakukan 4 (empat) tahapan, yaitu :
a. Pre-emtif
Merupakan bentuk – bentuk kegiatan yang diarahkan untuk menangkal timbulnya stimulan dan niat terhadap terjadinya gangguan, ancaman, perusakan dan perampasan hak. Bentuk kegiatannya berupa : sosialisasi, penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat.
b. Preventif
Merupakan bentuk kegiatan yang diarahkan untuk mencegah potensi terjadinya gangguan, ancaman, perusakan dan perampasan hak. Bentuk kegiatannya berupa patroli, penjagaan, pemeriksaan, kegiatan – kegiatan lain yang dapat membatasi kesempatan, peluang, dan kemungkinan fisik.
c. Represif
Merupakan bentuk – bentuk kegiatan yang diarahkan untuk penanggulangan dan penindakan terhadap tindakan/perbuatan/peristiwa gangguan, ancaman, perusakan, dan perampasan hak. Bentuk kegiatannya berupa pengamanan, pemusnahan, penangkapan, pengusiran, pemadaman kebakaran.
d. Yustisif
Merupakan berntuk kegiatan yang diarahkan untuk penegakan hukum melalui proses penyidikan terhadap tindakan/perbuatan/peristiwa gangguan, ancaman, perusakan dan perampasan hak. Bentuk kegiatannya berupa pulbaket, intelijen, pemberkasan, penyitaan, penahanan, dll.


II. Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP)
Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) adalah kawasan penyangga kehidupan dan ekosistem perairan untuk menjaga keberadaan dan kelestarian ekosistem perairan yang sekaligus berfungsi sebagai pelindung, pengawet, dan memberikan manfaat. Sedangkan di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 30 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sumber Daya di Wilayah Laut dijelaskan bahwa Pengelolaan Sumber Daya Laut adalah segala upaya mengoptimalkan manfaat sumber daya laut. Sumber daya laut adalah unsur hayati, non hayati yang terdapat di wilayah laut dan dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia.
Banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat merupakan kunci keberhasilan dalam pengembangan dan pelaksanaan rencana pengelolaan KKP. Keterlibatan pemangku kepentingan adalah proses berkelanjutan yang melibatkan pihak – pihak yang tertarik dalam mengkaji, merencanakan, dan melaksanakan rencana pengelolaan KKP. Melibatkan para pemangku kepentingan pada setiap tahapan proses pengelolaan mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan memastikan agar perspektif, pengetahuan dan dukungan pada setiap stakholders juga dimasukkan. Jika ada pihak stakholders yang memang tidak dilibatkan dalam kegiatan tahapan proses pengelolaan, mereka harus diinformasikan tentang proses dan hasil tersebut.
Stakeholders yang terkait dalam pengelolaan KKP adalah nelayan, nelayan komersial, industri budidaya laut, otoritas pengelola KKP, pemerintah daerah, industri pariwisata, kelompok konservasi lokal, kelompok konservasi internasional, organisasi pengembangan masyarakat, organisasi masyarakat pribumi, kelompok perempuan, ilmuwan, pendidik, LSM. Tujuan melibatkan pihak – pihak tersebut dalam pengelolaan adalah untuk mengidentifikasi dan membangun hubungan dengan para pemangku kepentingan kunci, dan menetapkan peranan dan tanggung jawab dalam pengelolaan dari perencanaan hingga implementasinya. Langkah – langkah dalam proses tersebut adalah :
• Mengidentifikasi para pemangku kepentingan di dalam dan disekitar KKP.
• Mengidentifikasi ketertarikan dan hubungan antara para pemangku kepentingan dan KKP.
• Mendefinisikan peran para pemangku kepentingan dalam pengembangan dan implementasi rencana pengelolaan.
• Mengidentifikasi peranan dan tanggung jawab lain dari pemangku kepentingan dalam pengelolaan KKP, termasuk pemetaan, pemantauan, dan evaluasi keefektifan pengelolaan.
Pengelolaan KKLD tentunya menyesuaikan dengan ciri khas atau potensi yang ada di lokasi tersebut, sehingga di dalam pengelolaanya tidak secara mutlak menggunakan strategi yang sama. Namun secara umum, di dalam pengelolaan KKLD telah dilakukan pembuatan zonasi. Pembuatan zonasi ini disesuaikan dengan rencana tata ruang kabupaten/ propinsi. Zonasi ini dimaksudkan untuk menjaga dan melindungi ekosistem laut serta dapat dimanfaatkan secara bijak tanpa merusak ekosistem atau mengganggu perkembangan ekosistem yang ada. Dalam pembagian zonasi tersebut bertujuan membagi kawasan (KKLD) menjadi agar terdapat kawasan laut yang memang bisa digunakan dalam kegiatan pemanfaatan (pengambilan ikan) dan ada juga tempat yang memang tidak boleh sama sekali ada kegiatan pemanfaatan atau biasanya disebut no take zone. Biasanya pada kawasan no take zone ini juga berfungsi sebagai tempat perlindungan sekaligus pembudidayaan biota laut tertentu, seperti karang, ikan,dll.

III. Pengelolaan Kawasan Konservasi secara Terpadu
Menurut Priyambodo Santoso, dengan mengacu UU No.6 tahun 1996 bahwa Negara Indonesia adalah satu kesatuan yang meliputi tanah (daratan) dan air (lautan) secara tidak terpisahkan sebagai Negara Kepulauan. Maka dalam rangka pengelolaan kawasan konservasi dengan maksud untuk menjaga ekosistem dan lingkungan harus dilaksanakan secara terpadu.
Pengelolaan kawasan konservasi terpadu ini merupakan pengelolaan secara kolaboratif antara pengelolaan kawasan konservasi hutan (darat) dan KKP. Kedua kelompok besar kawasan konservasi ini tidak dapat berdiri sendiri, namun harus dikoordinasikan dan dipadukan karena saling terkait. Kedua lingkup wilayah pengelolaan kawasan konservasi tersebut dibatasi sekaligus dihubungkan oleh kawasan pesisir. Wilayah pesisir adalah kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan laut yang sangat rentan terhadap perubahan aktivitas manusia di darat dan laut. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah pengelolaan kolaboratif yang bisa mengakomodasi kondisi secara komprehensif dari kedua wilayah pengelolaan tersebut dengan mempertimbangkan aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
Pengelolaan kawasan konservasi ini harus berjalan sinkron. Salah satu kawasan konservasi dapat rusak bila terkena dampak rusaknya kawasan konservasi satunya. Contoh, penebangan kayu secara besar – besaran dapat menyebabkan tanah longsor dan banjir, sehingga aliran banjir yang deras tersebut otomatis akan menjadikan keruh kawasan pantai/ laut. Hal tersebut mempunyai potensi ancaman untuk menghambat berkembangnya pertumbuhan coral reef ( terumbu karang) atau tempat ikan bertelur, karena air menjadi keruh. Sehingga ekosistem laut pada kawasan KKP menjadi rusak akibat dampak buruk/ kelalaian pengelolaan Kawasan Konservasi Hutan/ darat.
Dalam pengelolaan kolaboratif ini tentunya lebih banyak melibatkan stakeholders. Oleh karena itu untuk mempermudahnya, diharapkan terbentuk wadah dalam bentuk organisasi kolaboratif yang dapat berfungsi untuk :
1. Pengelolaan Konflik
2. Pembuat kebijakan
3. Pelaksanaan
4. Pemantauan
5. Membuat revisi rencana dan kesepakatan pengelolaan kolaboratif
6. Pembiayaan dan penggalangan dana
7. Pengumpulan informasi, data , dan analisinya
8. Pendidikan dan penelitian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar